Penulis : RD. Cornell R. Tandiayuk
Tahun ini adalah tahun bersejarah bagi Gereja Katolik di Toraja karena berkaitan dengan Yubileum 75 tahun pembaptisan pertama empat orang anak Toraja di Tampo, Makale pada tahun 1938. Baptisan pertama anak Toraja tersebut dimaknai sebagai awal keberadaan Gereja Katolik di bumi Toraja, Tondok Lepongan Bulan, Gontingna Matari’allo. Umat Katolik pantas bersyukur memaknai peristiwa tersebut. Betapa tidak, setelah peristiwa tersebut ada serangkaian peristiwa selanjutnya yang luar biasa. Gereja Katolik di Toraja dari hari ke hari terus berkembang dan menorehkan seribu satu macam kisah di hati orang Toraja. Bagaimana pun juga Gereja Katolik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Toraja baik yang tetap bermukim di Toraja maupun yang hidup di luar wilayah Toraja.
Perayaan 75th baru saja dilaksanakan dengan sangat meriah dalam Perayaan Ekaristi di paroki tertua Hati Tak Bernoda Maria, Makale. Perayaan yang dihadiri oleh ribuan umat Katolik dari dua belas paroki se-Kevikepan Toraja, dipimpin oleh Yang Mulia Bapa Uskup Keuskupan Agung Makassar. Suara riuh rendah mewarnai perayaan ini terlebih pada saat baru dimulai. Beraneka bunyian terdengar dari berbagai sudut jalanan kota Makale tempat hajatan. Gendang ditabuh dengan penuh semangat oleh anak-anak sekolah mengiringi ratusan teman mereka yang sedang menari tarian Toraja. Ada kesulitan melukiskan keramaian ini dalam kata. Singkatnya sangat ramai. Semua bernuansa gembira. Perayaan yang sarat dengan nuansa budaya Toraja telah menyebabkan lalu lintas kota Makale sejenak macet.
Oleh karena itu, ada kerinduan menuangkan dalam tulisan kata hati. Sebagai bagian dari rumah besar bernama Gereja Katolik, tak ingin rasanya momen ini berlalu begitu saja tanpa sedikit permenungan. Isi perpenungan ini tentu berada dalam bingkai sukacita dan syukur di hati atas karya agung Tuhan di atas bumi secara khusus Bumi Toraja, dalam dan melalui Gereja Katolik. Namun selain rasa syukur terbersit pula pertanyaan pengharapan, apakah Perayaan Meriah Yubileum 75 Tahun Gereja Katolik di Toraja, adalah tanda-tanda zaman jika di masa-masa yang akan datang Gereja Katolik akan menuai panenan berlimpah dan semakin membuktikan dirinya sebagai tanda kehadiran Allah di Bumi Toraja. Maka pada gilirannya orang-orang Toraja dalam bahasa syukurnya yang khas dapat berujar tentang Gereja Katolik: “Kasalle ia dadinna, lobo’ tongan garaganna, kasalle langngan, memba’ka’ lobo’ sia ma’bau pangden, kasalle na busarungngu’, lobo’ na bupare rompon”.
Reorientasi Hidup Menggereja
Saya tidak bisa melupakan satu pengalaman mengikuti short course tentang Multikulturalisme dan Pluralisme yang diadakan oleh IMPULSE sebuah lembaga nonprofit berkedudukan di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Salah seorang nara sumber tetap IMPULSE adalah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U. Dalam seminarnya, Prof Munir banyak berbicara tentang ISLAM yang dihayatinya. Ia adalah seorang tokoh Muhammadiyah dan juga Guru Besar di Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Islam yang dihayati dan dituangkannya dalam gagasan-gagasannya dan juga dalam perwujudan hidupnya seringkali mengundang reaksi kontroversial terutama di “kandang”nya sendiri. Dia suka mengkritik praktik-praktik beragama sebagaimana pada umumnya sedang berlangsung dan mengajak orang beragama secara lain.
Menurut Prof. Munir praktik keagamaan sekarang ini justru sering membawa “proletarisasi” atau pemiskinan massal umat dari nilai-nilai religiositas alami mereka. Orang yang mencoba kritis terhadap situasi ini sering kali dianggap sebagai “kiri” atau bidaah. Padahal “kiri” dalam konteks sosial-politik negeri ini senantiasa dilawankan dengan agama. Ia menegaskan bahwa kebenaran keagamaan ialah “kejujuran” dan itu ditemukan dalam kesejarahan hidup manusia dari waktu ke waktu dan bukannya dalam wilayah metafisik yang filosofis belaka. Oleh karena itu ia mengajak orang untuk mereorientasi keseriusan dalam beragama. Melalui penghayatan hidupnya yang unik ia mengundang umat untuk melakukan JIHAD dari hal-hal metafisik ke kehidupan sehari-hari yaitu kesatuan antara kontemplasi dan aksi. Jihad menurut Prof Munir haruslah lebih diarahkan untuk melawan situasi kemanusiaan yang tidak manusiawi.
Di berbagai kesempatan Prof. Munir menggunakan istilah “sufi pinggiran” sebagai afirmasi atau pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran ilahiah dan kearifan ilahiah yang otentik. Oleh karena itu hidup keagamaan (religiositas) haruslah menyentuh disposisi batin (disposition of the mind) yang mengutamakan transformasi hidup. Dan semua manusia bisa mencapainya karena pada dasarnya manusia adalah mahluk religius. Jika hidup dan praksis keagamaan tidak mengantar manusia semakin berkeadaban dan semakin manusiawi terhadap sesamanya, maka hidup keagamaan tersebut tidak bernilai apa-apa. Tuhan seyogianya dirasakan dalam kepedulian sosial antar-manusia dan sosial budaya yang berkeadaban.
Senada Prof Munir, Almarhum Pendeta Dr. Eka Dharmaputera, pada akhir tahun 1999, ketika beliau menerima penghargaan prestisius Abraham Kuyper Award dari Princeton Theological Seminary menyampaikan pidato yang sangat memukau hadirin. Isi pidatonya adalah mengenai peran Gereja-gereja di Indonesia pasca-rezim Soeharto. Era pasca-Soeharto (rezim Orde Baru) adalah Era Indonesia mulai memasuki masa transisi demokrasi. Menurutnya dalam masa transisi ini Gereja-gereja di Indonesia ditantang untuk memainkan peran transformatifnya, jika tidak, gereja hanya akan menjadi sekadar alat bagi kepentingan sempit demi kekuasaan suatu kelompok. Bagi Eka Darmaputera, persoalan yang sedang dihadapi umat beragama di Indonesia pasca rezim Soeharto bukan hanya pada perubahan konfigurasi sosial politik yang memaksa seluruh elemen bangsa untuk mencari titik keseimbangan baru namun juga menyangkut masalah fundamental hidup keberagamaan tak terkecuali Gereja-gereja, berupa ancaman “irrelevansi eksternal dan insignifikansi internal”.
Persoalannya bukan karena Gereja-gereja itu sedang sekarat dan tenggelam, sebaliknya mereka tetap hidup dan bersemangat, bertumbuh dan makin besar setidaknya dipandang dari meriahnya perayaan-perayaan gerejani, pembangunan-pembangunan fisik, jumlah umat dan sebagainya. Namun dikhawatirkan kehadiran Gereja-gereja di Indonesia terutama selama Masa Reformasi ini akan semakin mengalami tantangan serius dari luar dan dari dalam dirinya sendiri.
Menjadi irrelevan karena Gereja sibuk dengan dirinya sendiri. Komunitas Kristiani hanya memikirkan perayaan ritualnya yang meriah mengadopsi budaya panggung, fashion dan entertainment populer. Kepuasan demi kepuasan dicari melalui seremonial belaka dan berhenti di situ. Dengan cara-cara seperti itu sering terselubung motif bagaimana mengumpulkan sebanyak mungkin umat yang mendatangkan kolekte berlimpah. Dalam konteks ini, kesuksesan sebuah paroki seringkali barometernya adalah jumlah kolektenya setiap minggu. Semakin banyak kolektenya semakin hebatlah paroki tersebut. Perihal apakah umat semakin mengalami transformasi bathin dan semakin hidup berkeadaban seringkali menjadi issu yang tak tersentuh sama sekali.
Selain itu Gereja seringkali dikondisikan oleh warganya sendiri menjadi semacam media transaksional dan locus aktualisasi kepentingan. Tidaklah mengherankan apabila terdengar suara hingar-bingar perlombaan menjadi pengurus dan pejabat Gereja. Hal yang tidak berbeda dengan hingar-bingar perlombaan menjadi pengurus partai politik. Oleh karena kesibukan internalnya itu, Gereja melupakan bahwa ia memiliki misi mulia yakni hadir di tengah-tengah masyarakat dan mempedulikan kenyataan sosial masyarakat. Istilah biblisnya; “menjadi garam dan terang dunia”. Akibatnya di banyak tempat Gereja menutup diri pada setiap pergaulan dan pergumulan sosial bahkan cenderung memilih sikap eksklusif. Kehadiran Gereja bagi masyarakat dan bangsa semacam ini kemudian dirasakan tidak relevan (irrelevant) karena pilihan sikapnya yang a-politis dan a-sosial.
Dalam konteks Gereja Diaspora, sikap a-politis dan a-sosial Gereja akan selalu mengundang kecurigaan yang sangat apriori dari masyarakat. Mereka akan menilai kehadiran Gereja di lingkungan mereka adalah sebagai upaya kristenisasi. Maka marak di berbagai tempat muncul penolakan masyarakat terhadap keberadaan Gereja di lingkungan hidup mereka dan diperparah lagi oleh system politik yang cenderung dimainkan di ranah agama.
Kenyataan lain yang sebaliknya dapat terjadi adalah tampilnya wajah gereja di mana-mana. Beberapa tempat di Indonesia antara lain Toraja, warga masyarakat mayoritas warga Gereja. Oleh karena itu mau atau tidak mau Gereja tampil di mana-mana mulai dari ruang-ruang privat hingga ke ruang publik secara meluas. Fenomena “keserba-hadiran” Gereja semacam ini tidak menutup kemungkinan mengalami devaluasi sakramentalnya. Agama mana pun jika mengambil bagian dalam kesibukan sosial-politik dan budaya tanpa batas dan cenderung bersifat A-teologis akan tiba saatnya menjadi insignifikan bagi umatnya. Ancaman insignifikansi terjadi karena aktivitas Gereja sebagai institusi sakramental, tidak bisa lagi dibedakan dari berbagai aktivitas budaya yang kontemporer, ekonomi ala kapitalis dan politik pragmatis masyarakat. Bahkan sangat mungkin Gereja lebih berwajah lembaga politik dan ekonomi daripada institusi sakramental.
Pada masa kini sistem modernisme disanjung dan dipuja-puji oleh banyak kalangan. Sistem ekonomi pasar bebas didengungkan di mana-mana meskipun isinya sebagian besar masyarakat tidak tahu. Oleh karena itu, selalu muncul godaan bahkan kecenderungan di kalangan umat beragama mengambil alih tata kelola (manajemen) intitusi-institusi sekular yang bersifat modern tersebut untuk menggantikan tata kelola (manajemen) gereja yang dianggap ketinggalan zaman. Apakah cara-cara baru yang dianggap modern tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara teologis biblis sebagaimana tertuang dalam tradisi dan ajaran iman (magisterium)? Jawabannya adalah belum tentu. Malah prinsip-prinsip dari sumber ajaran iman tidak dipakai sama sekali sebagai kerangka berpikir dan berbuat.
Tentu Gereja bukanlah lembaga yang anti perubahan dan modernisasi tetapi Gereja tetap harus kritis bahwa tidak semua sistem modern, yang paling canggih sekali pun, bisa dan dapat dipakai sebagai sistem dalam mengatur kehidupan menggereja. Kekayaan warisan teologis yang telah menjaga religiositas umat beriman selama berabad-abad sekaligus menjadi kekuatan Gereja tetaplah penting. Jika semua tradisi Gereja dinafikan atau direlatifkan ketika berhadapan dengan modernisasi perlu diwaspadai karena seringkali inilah akar dari penyakit berbahaya bernama insignifikansi internal dalam Gereja. Di balik kemegahan dan kecanggihan manajemen modern kadang tidak bisa dipisahkan dari liberalisme dan kapitalisme yang memberi tekanan bahwa kualitas manusia ditentukan hanya oleh kompetensi, efisiensi, kegunaan (useful) tetapi mengabaikan sama sekali spiritualitas. Dengan kata lain tak peduli anda mengenal Tuhan atau tidak yang penting anda kompeten dan berguna.
Saya memberi judul tulisan ini “Apakah Tuhan Membutuhkan Gereja?” Judul ini adalah judul buku dari Gerard Lohfink “Does God Need the Church”. Karya Lohfink ini sangatlah provokatif. Gerard Lohfink adalah seorang teolog dan guru besar Kitab Suci di Universitas Tübingen, Jerman. Ia seakan-akan membangunkan kesadaran baru umat beriman tentang hidup menggereja. Ia sendiri sedikit pun tidak meragukan pentingnya Gereja dalam konstruksi sosial dan keselamatan manusia. Lohfink yang berlatarbelakang ahli Kitab Suci dengan mudah menjawab YA atas pertanyaan refleksif tersebut dengan menunjukkan bukti-bukti biblis mulai dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru.
Lohfink menjelaskan bahwa pada Zaman Perjanjian Lama, Tuhan bertindak melalui komunitas manusia yang berkumpul dalam nama-Nya dan percaya kepada janji-janjiNya. Tuhanlah yang berinisiatif memilih komunitas ini dan pilihan tersebut melulu menurut kerelaan kehendak-Nya. Komunitas manusia itu adalah Israel. Mereka adalah komunitas istimewa yang telah ditentukan oleh Tuhan guna melaksanakan janji-janji-Nya. Lohfink menggarisbawahi bahwa penyelamatan dunia menuntut suatu tempat tertentu. Tempat itu pertama-tama adalah Bangsa Israel. Namun kemudian hari dalam dinamika keselamatan proyek penyelamatan itu akan mengalami kepenuhan di dalam dan melalui Gereja.
Dalam hidup komunitas yang pertama yaitu Israel, Tuhan menjadi Penjamin dari komunitas baru tersebut. Keyakinan itu sangat kuat pada saat pembebasan dari Mesir. Mereka menyadari bahwa mereka dipilih oleh Tuhan dan keberadaan mereka tidak berarti apa-apanya tanpa Yahwe (Tuhan). Oleh karena itu bagi mereka Tuhan adalah Tuhan di atas segala-galanya. Lohfink menunjukkan bahwa karakter utama yang menentukan di dalam Perjanjian Lama ialah keterbukaan radikal ke masa depan yakni kedatangan Mesias. Sejarah Israel adalah sejarah sebuah bangsa yang sedang mempersiapkan sebuah komunitas baru dalam iman kepada Mesias Sang Penyelamat. Mesias itu yang dimaksud mengarah kepada pribadi Yesus Kristus.
Di dalam Yesus, Israel diberi pusat kehidupan baru yaitu Diri Yesus sendiri. Hidup keagamaan komunitas baru ini ditandai oleh ketakterpisahan mereka dengan pribadi Yesus yang bangkit. Dan hubungan istimewa dengan Yesus tersebut membedakan komunitas baru ini secara sangat radikal dari penghayatan dan praksis hidup keagamaan sebelumnya (Yudaisme). Mengapa bisa terjadi? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hidup Yesus sendiri. Hidup Yesus sendiri menjadi undangan bagi semua orang untuk menjalani kehidupan berelasi dengan Allah, Bapa dengan spritualitas baru. Jesus “gathered” people are no by means “like-minded people”, so different, they share the same table, the same “missio apostolica” and the same “vita apostolica” (Lohfink Gerard, Does God need the Church, pp 176-177). Mereka secara total menyerahkan diri mereka ke dalam kebersamaan baru di mana mereka mendedikasikan diri mereka untuk pelayanan kepada yang lain. Cara hidup baru yakni mendedikasikan hidup kepada orang lain merupakan awal perjuangan mengakhiri kelas-kelas sosial dalam masyarakat pada zaman Yesus. Semua orang bermartabat sama di hadapan Allah. Allah berbelarasa kepada semua orang maka konsekuensinya adalah manusia pun harus saling berbelarasa satu dengan yang lain. Praksis inilah yang sering kita sebut solidaritas kristiani.
Pada zaman yang ditandai oleh berbagai gelombang perubahan seperti sekarang ini, menurut Lohfink, Gereja harus berani melakukan exodus baru dari masyarakat lama ke bentuk hidup komunitas baru. Exodus Israel dari Mesir adalah bentuk upaya pemurnian sehingga hidup komunitas mereka semakin mengakar dalam kesatuan dengan Allah dan kesatuan serta solidaritas di antara mereka sendiri. Exodus tersebut dapat dimaknai sebagai upaya transformasi diri dan pembatinan perintah Tuhan baik dalam hidup individual lebih-lebih secara komunal dalam komunitas Umat Pilihan. Pada zaman Yesus, dengan latar belakang sosial keagamaan tertentu yakni Yudaisme, Yesus menyatakan bahwa keselamatan hanya mungkin jika orang-orang Yahudi mau exodus dari cara-cara lama mereka dan mengikuti Yesus. Mengapa mereka harus exodus dari praksis beragama Yudaisme? Karena Yudaisme telah menjadi sebuah institusi yang status quo dan menjadi tempat berlindung mereka yang tidak ingin melepaskan status quo: strata sosial-agama, strata ekonomi dan sebagainya. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:17-20).
Dalam konteks Gereja, Lohfink meyakini bahwa Gereja juga hanya bisa survive apabila Gereja selalu bersedia melakukan exodus. Hal ini sejalan dengan semboyan, “Ecclesia Semper Reformanda”. Paus Yohanes XXIII menggunakan istilah “aggiornamento” yang mengandung makna Gereja harus membuka jalan exodus dari cara-cara lama ke bentuk-bentuk yang baru baik pada tataran teologis maupun praksis kehidupan. Paus Yohanes Paulus II sangat familiar dalam menggunakan istilah “evangelisasi baru”. Jadi sesungguhnya sudah lama pemimpin Gereja menyadari pentingnya exodus baru dalam Gereja agar tetap survive mewartakan kabar gembira.
>
> Tentu saja exodus yang dimaksud bukan sembarang exodus yang tanpa pedoman arah. Tetapi exodus yang berlandaskan Sabda Allah. Hal itu berarti Gereja harus sungguh menempatkan Yesus sebagai pusat kehidupannya, karena Dialah Sabda yang menjadi manusia. Bangsa Israel telah membuktikan bahwa hanya jika mereka setia kepada perintah Yahwe (baca: Tuhan) mereka bertahan, sebaliknya jika tidak setia mereka binasa. Demikian juga Gereja, jika tidak setia kepada Sang Sabda maka akan kehilangan orientasi hidup. Maka exodus yang harus dijalani oleh umat beriman bernama Gereja pertama-tama adalah transformasi hidup berdasarkan Sabda Allah. Gereja mempunyai misi mewartakan kabar gembira kepada segala bangsa mengikuti perutusan Sang Sabda, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu, baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus" (Matius 28: 19).
Menimbang Masa, Dulu dan Sekarang
Saya sangat menyadari bahwa ruang untuk memaparkan seluruh sejarah masa lalu hingga kini mengenai Gereja Katolik di Toraja melalui artikel ini sangatlah terbatas. Tulisan ini tidak dimaksudkan pula untuk menulis sejarah. Namun beberapa pengalaman masa lalu yang dikisahkan oleh banyak orang tua tentang jejak-jejak kehadiran Gereja Katolik di Bumi Lepongan Bulan akan mengisi bagian ini sebagai obyek refleksi. Sejumlah orang tua bertutur mengenai ingatan mereka tentang Gereja Katolik pada tahun-tahun awal kehadirannya dan bagaimana gereja mengambil hati Orang Toraja pada waktu itu. Banyak sekali kisah romantis yang terungkapkan dalam nostalgia mereka, seperti kunjungan pastor, pendirian sekolah, pendirian gereja dan lain sebagainya.
Salah satu kisah yang menarik dari masa lalu itu bagaimana mendapatkan lokasi pendirian gedung gereja. Beberapa Gereja didirikan di atas tanah yang dihibahkan oleh keluarga yang tidak Katolik atau Kristiani. Dalam catatan sejarah sekian tahun kemudian persitiwa itu tentulah sangat mengesankan. Bagaimana mungkin mereka yang tidak atau belum dibabtis itu dengan mudah tanpa kecurigaan menyerahkan tanah mereka kepada Gereja, yang notabene tidak mereka kenal sama sekali? Jawaban sederhana kita adalah karena pada masa itu harga tanah masih murah. Namun kerelaan memberi tersebut bukanlah perkara transaksional melainkan nilai memberi menjadi penting. Nilai religiositas mengambil bagian penting dalam penyerahan tanah tersebut. Nilai memberi dihayati sebagai perwujudan dari iman kepada Dzat yang lebih tinggi. Selain itu inklusifitas religi mewarnai seluruh praksis keagamaan tradisonal tersebut sehingga toleransi ikut menjadi ukuran kedalaman penghayatan iman mereka. Inilah yang oleh Prof. Munir disebut kesadaran dan kearifan ilahiah yang otentik.
Nah, bagaimana dengan keadaan sekarang? Adakah keberadaan Gereja baik dalam arti sempit institusi maupun dalam arti luas umat Allah yang dibaptis tetap memelihara bahkan mengembangkan kesadaran dan kearifan ilahiah yang otentik tersebut? Membandingkan masa lalu dan masa kini, hal yang memiriskan hati adalah justru fenomena terbalik jika di beberapa tempat, orang-orang Toraja yang sudah dibaptis dan menjadi Katoliklah yang justru menggugat lokasi Gereja. Dulu diserahkan oleh nenek-kakek mereka, kini oleh anak cucu digugat. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tanah menjadi sangat mahal. Di mana-mana harga tanah melambung tinggi karena luasnya tak bertambah sedangkan manusia semakin bertambah. Kenyataan tersebut menyebabkan orang berlomba menguasai tanah seluas hak-hak dan kemampuannya. Sehingga tidak jarang bersinggungan dengan tanah lokasi Gereja.
Repotnya di beberapa tempat (paroki atau stasi) Gereja sebagai institusi tak memiliki surat-surat resmi seperti Akte Hibah. Gereja selama bertahun-tahun hanya mengandalkan rasa percaya saja kepada keluarga yang dulu menyerahkan tanahnya. Seakan-akan tidak akan ada yang akan menggugatnya. Apabila di kemudian hari ternyata Gereja berhadapan dengan warganya sendiri karena digugat atas kepemilikan tanah maka sudah saatnya Gereja kembali merenungkan dirinya. Memang hal-hal ini sangat kasuistik dan masalah Gereja di Toraja saya yakin bukan hanya masalah tanah. Dalam hidup sosial patut kita membuka mata lebar-lebar. Banyak kalangan merasa sangat khawatir dengan perkembangan sosial budaya Toraja yang sedang mengalami krisis orientasi dan mulai didominasi oleh pragmatisme (bdk. George Aditjondro, Pragmatisme Menjadi To Sugi dan To Kapua di Toraja). Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa kebenaran membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Tidak peduli apakah caranya baik atau buruk. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis dan bermanfaat. Manfaat bisa bagi semua tapi lebih cenderung bermanfaat bagi kelompok tertentu. Wajah Gereja di mana-mana tetapi tidak berbanding lurus dengan kemajuan sosial, peradaban sosial dan religiositas sosial. Pragmatisme bergerak lebih cepat daripada gerakan spiritual Gereja dan kalau tidak mawas diri Gereja pun menjadi bagian dari pragmatisme tersebut.
Malahan apa yang dahulu kala oleh nenek moyang orang Toraja dianggap sebagai media menjaga keseimbangan (harmoni sosial) bernama “pemali” kini tidak dipedulikan lagi. Sementara itu Gereja sebagai lembaga agama yang sudah sangat kuat paling tidak dalam arti kuantitas pengikut, belum maksimal menunjukkan dan memberikan kontribusi seperti apa yang tepat untuk menjaga dan memelihara warisan sosial budaya Toraja menuju peradaban yang lebih baik. Seratus persen Toraja, seratus persen Kristiani. Tentu Gereja tidak bisa cuci tangan dengan kenyataan-kenyataan sosial sebagaimana sedang berlangsung di depan mata kita sekarang. Karena berbicara mengenai perkembangan sosial-budaya orang Toraja sekarang ini berkonsekuensi logis dengan berbicara tentang Gereja.
Jika benar sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Munir Mulkhan bahwa krisis religiositas masyarakat kita sebagian disebabkan oleh proletarisasi atau pemiskinan massal umat dari nilai-nilai religiositas asli mereka, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa memudarnya loyalitas umat kepada Gereja berakar dari hal yang sama. Mengapa? Karena Gereja dapat dikatakan telah mengambil alih hampir seluruh penghayatan dan praksis hidup religiositas masyarakat Toraja dari yang tradisional asli ke dalam bentuk-bentuk baru khas Gereja. Namun pengalihan itu dapat saja a-teologis atau a-sosial atau keduanya sekaligus. Maka dalam konteks ini peringatan Eka Darmaputera tentang bahaya irrelevansi dan insignifikansi pantas diberi perhatian. Itu artinya Gereja harus segera exodus sebagaimana dikatakan oleh Gerard Lohfink.
Pada hari terakhir masa konklaf di dalam Kapel Sistina setelah terpilih menjadi Paus, Paus Fransiskus mengatakan, “We can walk as much we want, we can build many things, but if we do not confess Jesus Christ, nothing will avail. We will become a pitiful NGO, but not the Church, the bride of Christ.” Kita dapat berjalan ke mana saja kita kehendaki, kita dapat membangun banyak hal namun jika kita tidak mengakui Yesus Kristus, tidak ada sesuatu pun yang bisa memberikan manfaat. Kita akan menjadi sebuah LSM yang memilukan, namun bukan Gereja, mempelai Yesus Kristus. Banyak kalangan menilai terobosan Paus yang baru ini akan membawa pengaruh yang signifikan dalam Gereja Katolik dan dunia. Bapa Suci mengajak semua warga Gereja untuk bergerak melakukan exodus agar Gereja tetap survive melaksanakan tugas mahapenting dari Sang Guru, Yesus Kristus yakni menjadikan segala bangsa murid-Nya. Di Rio de Janeiro dalam misa penutupan World Youth Day 2013, Bapa Suci mengatakan kepada lebih dari dua juta peziarah WYD, “The opening words of the psalm that we proclaimed are: “Sing to the Lord a new song” (Psalm 95:1). What is this new song? It does not consist of words, it is not a melody, it is the song of your life, it is allowing our life to be identified with that of Jesus, it is sharing his sentiments, his thoughts, his actions. And the life of Jesus is a life for others. It is a life of service.”
Akhir kata semoga Yubileum 75th Gereja Katolik di Toraja menjadi momen yang baik dan berharga bagi kita semua untuk merefleksikan perjalanan kita sebagai Gereja demi terciptanya sebuah masyarakat yang berkeadaban dan kristiani.
Salam,
LP