SENDANGSONO – berasal dari dua kata bahasa jawa, yaitu sendang =
mata air, sumur, telaga kecil; dan sono = pohon. Sono - berarti mata air di bawah sebatang
pohon Sono. Gua Maria Sendangsono berada di wilayah Paroki Promasan, Kalibawang,
Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulunya sumber mata air ini bernama
sumber Semagung, salah satu dari tiga mata air di daerah itu.
Kalibawang
terhitung daerah yang kekurangan air. Masyarakat setempat sukar sekali menggali
sumur. Hanya ada tiga sumber air (sendang) di tempat itu, yaitu Beji Klangon,
Tuksanga yang terletak di antara Gereja Plasa dan tempat peziarah, serta
Semagung yang disebut Senidangsana bertuah.
Sejak
awal Sendangsono dipandang istimewa daripada kedua sendang lainnya. Menurut
cerita para tetua setempat, para rahib Buddha yang pulang dari Candi Borobudur
ke biara atau Boro Kidul (sekarang Boro) memilih air Sendangsono ini untuk
diminum. Para rahib itu menelusuri pegunungan Menoreh melewati Kerug membelok
ke kiri menuju Boro, kemudian berjalan kaki dari Borobudur ke Boro Kidul.
Perjalanan yang panjang di bawah cuaca yang kadang-kadang kurang bersahabat
memaksa para rahib itu beristirahat. Mereka memilih tempat istirahat di
Semagung karena sumber airnya jernih.
Sementara
itu, masyarakat sekitar meyakini tempat itu didiami segala macam roh. Sebab
itu, selama bertahun-bertahun mereka mengadakan selamatan dan sesaji bagi
roh-roh yang menguasai sendang tersebut. Konon, roh-roh itu mendiami
pohon-pohon sono yang bertumbuh subur di sekitar sendang tersebut. Di samping
itu, orang-orang sekitar juga kerap memanfaatkan tempat ini untuk semadi.
Latar
belakang tersebut menjadi sumber inspirasi untuk menjadikannya sebagai tempat
kudus. Artinya, karena sendar itu sudah lama menjadi tempat "kudus",
selayaknya kalau didiami oleh orang yang suci juga. Tempat yang dulunya
diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh diubah menjadi ' tempat bersemayam Bunda
Maria yang tak bernoda.
Pada
14 Desember 1904, Pastor van Lith SJ, seorang misonaris berkebangsaan
Belanda, tiba di Semarang. Ia memberkati sumber air itu untuk membaptis 173
orang, rombongan pertama orang Katolik yang dipermandikan di Jawa Tengah.
Momen
bersejarah ini terukir di sebuah tembok yang terletak dekat dengan altar utama
Gua Sendangsono. Sejak saat itu, tempat itu terkenal sebagai tempat ziarah
Bunda Maria.
Kemudian,
Pater J. B. Prennthaler SJ (1885-1946), yang sudah lama bertugas di Kalibawang,
menganjurkan agar di sekitar sendang yang sudah diberkati ini sebaiknya
ditempatkan suatu lambang kekudusan dan kemurnian. Maka dimulailah pembangunan
"Gua Lourdes" untuk menernpatkan patung Bunda Maria. Patung Bunda
Maria dipesan khusus dari Perancis dan dibawa dengan kereta api ke Sentolo. Di
tempat itu, puluhan umat mengangkut peti seberat 300 kg menuju Sendangsono.
Gua
ini diberkati pada 8 Desember 1929 bertepatan dengan perayaan 75 Tahun Bunda
Maria Tidak Bernoda oleh pembesar Serikat Jesuit, Pater Kalken. Upacara itu
dihadiri sekitar 700 umat. Perayaan misa dirayakan di sebuah gedung Sekolah
Dasar yang biasa digunakan sebagai gereja, yang disusul dengan prosesi ke Gua
Maria.
Gua
Maria Sendangsono dianggap sebagai Gua Lourdes-nya Asia Tenggara dewasa ini.
Selama bulan Mei dan Oktober, ribuan umat dari berbagi paroki di Indonesia dan
bahkan dari luar negeri berziarah ke gua ini. Sayangnya, suasana di sekitar
tempat ziarah tersebut saat ini kurang bening dan khusuk seperti dulu. Banyak
pengunjung menjadikannya sebagai tempat rekreasi, dan bukan untuk berdoa dan
bermeditasi.
DOA KEPADA BUNDA MARIA DARI LOURDES
Ya Santa Perawan Maria yang tak bercela, Bunda yang
berbelas kasih, jaminan
kesehatan bagi yang sakit, pengungsian bagi pendosa, penghiburan bagi yang menderita, engkau tahu segala
kebutuhan kami, kesulitan kami, dan penderitaan kami; berkenanlah mengarahkan pandangan kami pada belas kasihanmu.
Dengan menampakkan diri di gua Lourdes, engkau diizinkan membuat tempat itu
suci, dan dari situ pun engkau dapat menyalurkan anugerahmu dan banyak
penderita telah memperoleh kesembuhan dari kelemahan dan sakit mereka, baik jasmani maupun rohani.
Maka, kami datang dengan keyakinan penuh seraya
memohon dengan
perantaraan keibuanmu. Penuhilah don kabulkanlah, ya Bunda terkasih, permohonan-pemohonan kami. Kami pun
akan berusaha keras untuk meniru
keutamaanmu agar kami suatu saat dapat menikmati
kemuliaanmu, ya Bunda dan memperolehnya dalam keabadian. Amin.
BAPAK BARNABAS SARIKRAMA, CIKAL BAKAL UMAT KATOLIK
SENDANGSONO, KALIBAWANG
Sendangsono
tidak bisa lepas dari tokoh yang satu ini. Bapak Barnabas Sarikrama. Pasalnya,
dialah yang menjadi cikal bakal umat Katolik di Sendangsono. Semula Barnabas
Sarikrama adalah penggemar ilmu gaib atau supranatural.
Ia tidak merasa puas dengan keterangan-keterangan yang didapatnya
dari guru-guru kebatinannya. Maka, ia pun sering berpindah-pindah dari guru
yang satu ke guru yang lain. Akhirnya ia bertemu dengan Dawud.
Pak
Grudug alias Dawud Tadikrama sebelumnya adalah Guru ilmu gaib. Ia kerap mengadakan olah batin di
tempat-tempat yang wingit, seperti sendang, sungai, dan lain sebagainya dengan
diikuti oleh para muridnya di sekitar Kalibawang. Apabila ia mau meresmikan
muridnya yang telah lulus dalam ilmu yang diajarkannya diadakanlah upacara
peresmian. Peresmian itu sendiri harus disaksikan oleh murid-murid lain dan
roh-roh yang mendiami kayu-kayu sana dan batu-batu di sekitar tempat itu. Ia akhirnya menjadi pengikut Kristen
kerasulan setelah gurunya Kyai Setjowiguno "dikalahkan" oleh Kyai
Sadrach Surapranata, seorang pendeta kristen Kerasulan Pusat yang berkedudukan
di Karangjasa Kutoarjo.
Suatu
hari Sarikrama tidak dapat bepergian sama sekali karena kakinya luka parah.
Obat-obatan dari dukun tidak menolongnya. Kadang-kadang ia menerima saleb dari
temannya yang bernama Dawud itu. Namun, kedatangan Dawud tidak pasti. Sering
obatnya suclah habis, namun Dawud tidak kunjung tiba juga.
Terdorong
oleh hasratnya untuk sembuh, ia bertanya kepada Dawud, dari mana saleb itu ia
peroleh. Diterangkan oleh Dawud bahwa saleb itu dari seorang Pastor Belanda di
Muntilan. Yang mengobati pun seorang dokter Belanda. Orangnya besar tetapi
hatinya baik. Mendengar keterangan Dawud itu Sarikrama minta untuk dihantarkan
ke Muntilan menghadap Pastor itu.
Di
Pastoran Muntilan Sarikrama diterima Bruder Th. Kersten, SJ yang disebut dokter
Belanda oleh Dawud tadi. Dengan sabar luka Sarikrama yang telah parah dicuci
bersih, disaleb, kemudian dibalut dengan perban yang bersih oleh Bruder itu.
Lalu Sarikrama dinasihatkan oleh Bruder agar setiap Minggu ia datang. Pulangnya
Sarikrama diberi saleb dan perban. Namun, Sarikrama. tidak lekas pulang.
Hatinya sangat terharu atas perawatan dan penerimaan Bruder terhadap dirinya.
Sarikrama pun keluar dari kamar obat seraya minta izin untuk boleh masuk gereja
bersama dengan orang-orang lainnya itu.
Di
dalam gereja ia mendengar ajaran Romo Van Lith SJ, yang kemudian diulangi oleh
guru agamanya yang bernama Bapak Andreas Martaatmadja. Hatinya tertarik. Akhirnya,
ia memberanikan diri untuk minta kepada Bapak Andreas agar setiap hari Minggu ia
boleh masuk ke gereja. Permintaannya itu tentu saja tidak ditolak. Bahkan
pulangnya pun ia diberi buku Katekismus dengan huruf Jawa yang boleh dipelajari
oleh Sarikrama di rumahnya.
Sarikrama
menjadi murid yang setia. Pada tanggal 20 Mei 1904, ia dibaptis oleh Romo Van Lith, SJ di Muntilan.
Sesudah upacara selesai, Sarikrama pun berkata, "Kaki saya sudah dapat
saya pergunakan lagi karena kemurahan Tuhan. Maka, selanjutnya akan saya pakai
untuk karya Tuhan." Ia pun mohon dilatih agar bisa menjadi guru agama.
Tanpa diminta dan tanpa dibayar ia lalu berkeliling ke seluruh Kalibawang,
memberi bimbingan kepada lebih kurang 200 orang. Baik para calon maupun
orang-orang yang telah dibaptis membutuhkan pelajaran agama dari Romo Van Lith
SJ dan Romoromo pembantunya. Namun, sehari-hari mereka telah sibuk mengajar di
sekolah, sehingga kekurangan waktu untuk mengunjungi mereka secara rutin.
Padahal mereka perlu diteguhkan imannya, dibangkitkan semangatnya sehingga
bersemangat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi di Muntilan. Jarak Muntilan -
Kalibawang tidak dekat. Pulang pergi berjalan kaki 4 jam. Bukan pekerjaan
mudah. Hanya semangat yang menggairahkan mereka untuk pergi beribadat dengan
kondisi seperti itu.
Bapak
Barnabas Sarikrama tahu akan kebutuhan orang-orang dalam asuhannya. Sambil
mengajar ia kadang-kadang membagi-bagi pil kinine atau saleb yang diperolehnya
dari Pastoran Muntilan atau Mendut Karya Kerasulan Awam. Hal itu dikerjakan
sendiri selama 9 tahun tanpa Pastor. Baru pada tahun 1914 Romo Gembala yang
pertama ialah Romo L. Groenewegen SJ almarhum datang meringankan beban Pak
Barnabas. Namun, karena kesehatannya terganggu beliau pulang ke negeri Belanda
pada tahun 1920 diganti oleh Romo J. Barendsen SJ. Pada tahun 1924 Gembala yang
kedua ini pindah tempat diganti gembala ketiga yang agak lama di sini, yakni
Romo JB. Prennthaler SJ dari Austria. Pada tahun 1935 beliau cuti ke luar
negeri dan setelah kembali pada tahun 1936 ia bekerja di Rawaseneng, Temanggung
di mana sekolah pertanian katolik Helderweird didirikan. Pada bulan Mei 1940
beliau ditawan Polisi Belanda, sebab padawaktu itu Belanda berperang dengan
Jerman. Dari situ beliau diangkut ke Madiun. Beberapa bulan kemudian ia
diizinkan kembali ke Rawaseneng. Setelah pulau Jawa diduduki Jepang Rawaseneng
ditinggalkannya lalu kembali ke Boro pada tahun 1942.
Sebelumnya
pada tahun 1935-1942 yang melanjutkan misi di Kalibawang adalah Romo C.
Tepemma SJ dibantu oleh Romo R. Jasawihardja SJ.
Akhirnya
Romo JB. Prennthaler SJ pada awal pemerintahan jepang tahun 1942 dikembalikan
lagi ke Boro.
Pekerjaan
13apak Barnabas tidak pernah terhenti. Ia
tetap menjadi pembantu Romo. Maka, pada tanggal 8 Desember 1929 diadakan
perayaan 25 tahun atau pesta perak Bapak Guru Agama tanpa bayar
ini bersamaan dengan perayaan 25
tahun misi di Kalibawang. Dalam pidatonya Romo JB.
Prennthaler SJ menguraikan riwayat misi di Kalibawang yang telah maju. Pertama
kali, beliau mengucapkan terima kasih kepadaTuhan Yang Mahesa. Kedua kalinya,
ucapan terima kasih ditujukan kepada para penderma mini Kalibawang di luar dan
di dalam negeri, juga kepada Romo Van Lith Sj sebagai peletak dasar karya misi
Kalibawang. Dan, tak ketinggalan kepada saudari-saudara lain yang telah ikut
menyukseskan misi tersebut. Ketiga kalinya ucapan yang panjang lebar dan
mengharukan ditujukan khusus untuk Bapak Barnabas Sarikrama. Seperempat abad
lamanya rasul awam ini membantu misi tanpa diminta, tanpa dibayar. Maka Sri
Paus berkenan menghadiahkan kepadanya sebuah bintang yang berwujud "SALIB
KEHORMATAN EMAS" dengan tulisan "Pro Eccclesia
et Pontificae" beserta piagamnya. Dialah bangsa Indonesia yang pertama
kali mendapat kehormatan itu. Semua penduduk Kalibawang dan para tamu yang
hadir ternganga, heran. Bapak Barnabas Sarikrama sendiri tidak kuasa menahan harunya. Ia pun malah memuji Sri Paus yang dari
Roma nun jauh di sana berkenan menunjukkan cinta kasihnya kepada umatnya yang
sederhana di tempat yang sangat pelosok.
Wajah
para hadirin berseri-seri tatkala Romo V. Kalken SJ menyematkan "Salib
Kehormatan" di dada Bapak Barnabas yang pada waktu itu memakai baju hitam.
Beberapa orang menitikkan air mata tak kuasa menahan rasa haru dan gembira.
Satu per satu memberi sambutan. Dan, Bapak Barnabas Sarikrama merasa malu
mendengar pidato pujian Romo JB. Prennthaler Sj, namun hatinya berdebar-debar
campur aduk dengan rasa gembira dan bangga diperkenankan memakai "SALIB
KEHORMATAN" di dadanya. (sumber: Buku Sendang SONO, 1967)