Rabu, 06 Agustus 2014

GUA MARIA SENDANGSONO, PROMASAN , KALIBAWANG, YOGYAKARTA

SENDANGSONOberasal dari dua kata bahasa jawa, yaitu sendang = mata air, sumur, telaga kecil; dan sono = pohon. Sono - berarti mata air di bawah sebatang pohon Sono. Gua Maria Sendangsono berada di wilayah Paroki Promasan, Kali­bawang, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulunya sumber mata air ini bernama sumber Semagung, salah satu dari tiga mata air di daerah itu.
Kalibawang terhitung daerah yang kekurangan air. Masyarakat setempat sukar sekali menggali sumur. Hanya ada tiga sumber air (sendang) di tempat itu, yaitu Beji Klangon, Tuksanga yang terletak di antara Gereja Plasa dan tempat peziarah, serta Semagung yang disebut Senidangsana bertuah.
Sejak awal Sendangsono dipandang istimewa daripada kedua sendang lainnya. Menurut cerita para tetua setempat, para rahib Buddha yang pulang dari Candi Borobudur ke biara atau Boro Kidul (sekarang Boro) memilih air Sendangsono ini untuk diminum. Para rahib itu menelusuri pegunungan Menoreh melewati Kerug membelok ke kiri menuju Boro, kemudian berjalan kaki dari Borobudur ke Boro Kidul. Perjalanan yang panjang di bawah cuaca yang kadang-kadang kurang bersahabat memaksa para rahib itu beristirahat. Mereka memilih tempat istirahat di Semagung karena sumber airnya jernih.
Sementara itu, masyarakat sekitar meyakini tempat itu didiami segala macam roh. Sebab itu, selama bertahun-bertahun mereka mengadakan selamatan dan sesaji bagi roh-roh yang menguasai sendang tersebut. Konon, roh-roh itu mendiami pohon-pohon sono yang bertumbuh subur di sekitar sendang tersebut. Di samping itu, orang-orang sekitar juga kerap memanfaatkan tempat ini untuk semadi.
Latar belakang tersebut menjadi sumber inspirasi untuk menjadikannya sebagai tempat kudus. Artinya, karena sendar itu sudah lama menjadi tempat "kudus", selayaknya kalau didiami oleh orang yang suci juga. Tempat yang dulunya diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh diubah menjadi ' tempat bersemayam Bunda Maria yang tak bernoda.
Pada 14 Desem­ber 1904, Pastor van Lith SJ, seorang misonaris berke­bangsaan Belanda, tiba di Semarang. Ia memberkati sum­ber air itu untuk membaptis 173 orang, rombongan pertama orang Ka­tolik yang dipermandikan di Jawa Tengah.
Momen bersejarah ini terukir di sebuah tembok yang terletak dekat dengan altar utama Gua Sendangsono. Sejak saat itu, tempat itu terkenal sebagai tempat ziarah Bunda Maria.
Kemudian, Pater J. B. Prennthaler SJ (1885-1946), yang sudah lama bertugas di Kalibawang, menganjurkan agar di sekitar sendang yang sudah diberkati ini sebaiknya ditempatkan suatu lambang kekudusan dan kemurnian. Maka dimulailah pembangunan "Gua Lourdes" untuk menernpatkan patung Bunda Maria. Patung Bunda Maria dipesan khusus dari Perancis dan di­bawa dengan kereta api ke Sentolo. Di tempat itu, puluhan umat mengangkut peti seberat 300 kg menuju Sendang­sono.
Gua ini diberkati pada 8 Desember 1929 bertepatan dengan perayaan 75 Tahun Bunda Maria Tidak Bernoda oleh pembesar Serikat Jesuit, Pater Kalken. Upacara itu dihadiri sekitar 700 umat. Perayaan misa dirayakan di sebuah gedung Sekolah Dasar yang biasa digunakan sebagai gereja, yang disusul dengan prosesi ke Gua Maria.
Gua Maria Sendangsono dianggap sebagai Gua Lourdes-nya Asia Tenggara dewasa ini. Selama bulan Mei dan Oktober, ribuan umat dari berbagi paroki di Indonesia dan bahkan dari luar negeri berziarah ke gua ini. Sayangnya, suasana di sekitar tempat ziarah tersebut saat ini kurang bening dan khusuk seperti dulu. Banyak pengunjung menjadikannya sebagai tempat rekreasi, dan bukan untuk berdoa dan bermeditasi.
DOA KEPADA BUNDA MARIA DARI LOURDES
Ya Santa Perawan Maria yang tak bercela, Bunda yang berbelas kasih, jaminan kesehatan bagi yang sakit, pengungsian bagi pendosa, penghiburan bagi yang menderita, engkau tahu segala
kebutuhan kami, kesulitan kami, dan penderitaan kami; berkenanlah
mengarahkan pandangan kami pada belas kasihanmu. Dengan menampakkan diri di gua Lourdes, engkau diizinkan membuat tempat itu suci, dan dari situ pun engkau dapat menyalurkan anugerahmu dan banyak penderita telah memperoleh kesembuhan dari kelemahan dan sakit mereka, baik jasmani maupun rohani.
Maka, kami datang dengan keyakinan penuh seraya memohon dengan perantaraan keibuanmu. Penuhilah don kabulkanlah, ya Bunda terkasih, permohonan-pemohonan kami. Kami pun akan berusaha keras untuk meniru keutamaanmu agar kami suatu saat dapat menikmati kemuliaanmu, ya Bunda dan memperolehnya dalam keabadian. Amin.

BAPAK BARNABAS SARIKRAMA, CIKAL BAKAL UMAT KATOLIK SENDANGSONO, KALIBAWANG
Sendangsono tidak bisa lepas dari tokoh yang satu ini. Bapak Barnabas Sarikrama. Pasalnya, dialah yang menjadi cikal bakal umat Katolik di Sendangsono. Semula Barnabas Sarikrama adalah penggemar ilmu gaib atau supranatural. Ia tidak merasa puas dengan keterangan-keterangan yang didapatnya dari guru-guru kebatinannya. Maka, ia pun sering berpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang lain. Akhirnya ia bertemu dengan Dawud.
Pak Grudug alias Dawud Tadikrama sebelumnya adalah Guru ilmu gaib. Ia kerap mengadakan olah batin di tempat-tempat yang wingit, seperti sendang, sungai, dan lain sebagainya dengan diikuti oleh para muridnya di sekitar Kalibawang. Apabila ia mau meresmikan muridnya yang telah lulus dalam ilmu yang diajarkannya diadakanlah upacara peresmian. Peresmian itu sendiri harus disaksikan oleh murid-murid lain dan roh-roh yang mendiami kayu-kayu sana dan batu-batu di sekitar tempat itu. Ia akhirnya menjadi pengikut Kristen kerasulan setelah gurunya Kyai Setjowiguno "dikalahkan" oleh Kyai Sadrach Surapranata, seorang pendeta kristen Kerasulan Pusat yang berkedudukan di Karangjasa Kutoarjo.
Suatu hari Sarikrama tidak dapat bepergian sama sekali karena kakinya luka parah. Obat-obatan dari dukun tidak menolongnya. Kadang-kadang ia menerima saleb dari temannya yang bernama Dawud itu. Namun, kedatangan Dawud tidak pasti. Sering obatnya suclah habis, namun Dawud tidak kunjung tiba juga.
Terdorong oleh hasratnya untuk sembuh, ia bertanya kepada Dawud, dari mana saleb itu ia peroleh. Diterangkan oleh Dawud bahwa saleb itu dari seorang Pastor Belanda di Muntilan. Yang mengobati pun seorang dokter Belanda. Orangnya besar tetapi hatinya baik. Mendengar keterangan Dawud itu Sarikrama minta untuk dihantarkan ke Muntilan menghadap Pastor itu.
Di Pastoran Muntilan Sarikrama diterima Bruder Th. Kersten, SJ yang disebut dokter Belanda oleh Dawud tadi. Dengan sabar luka Sarikrama yang telah parah dicuci bersih, disaleb, kemudian dibalut dengan perban yang bersih oleh Bruder itu. Lalu Sarikrama dinasihatkan oleh Bruder agar setiap Minggu ia datang. Pulangnya Sarikrama diberi saleb dan perban. Namun, Sarikrama. tidak lekas pulang. Hatinya sangat terharu atas perawatan dan penerimaan Bruder terhadap dirinya. Sarikrama pun keluar dari kamar obat seraya minta izin untuk boleh masuk gereja bersama dengan orang-orang lainnya itu.
Di dalam gereja ia mendengar ajaran Romo Van Lith SJ, yang kemudian diulangi oleh guru agamanya yang bernama Bapak Andreas Martaatmadja. Hatinya tertarik. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk minta kepada Bapak Andreas agar setiap hari Minggu ia boleh masuk ke gereja. Permintaannya itu tentu saja tidak ditolak. Bahkan pulangnya pun ia diberi buku Katekismus dengan huruf Jawa yang boleh dipelajari oleh Sarikrama di rumahnya.
Sarikrama menjadi murid yang setia. Pada tanggal 20 Mei 1904, ia dibaptis oleh Romo Van Lith, SJ di Muntilan. Sesudah upacara selesai, Sarikrama pun berkata, "Kaki saya sudah dapat saya pergunakan lagi karena kemurahan Tuhan. Maka, selanjutnya akan saya pakai untuk karya Tuhan." Ia pun mohon dilatih agar bisa menjadi guru agama. Tanpa diminta dan tanpa dibayar ia lalu berkeliling ke seluruh Kalibawang, memberi bimbingan kepada lebih kurang 200 orang. Baik para calon maupun orang-orang yang telah dibaptis membutuhkan pelajaran agama dari Romo Van Lith SJ dan Romo­romo pembantunya. Namun, sehari-hari mereka telah sibuk mengajar di sekolah, sehingga kekurangan waktu untuk mengunjungi mereka secara rutin. Padahal mereka perlu diteguhkan imannya, dibangkitkan semangatnya sehingga bersemangat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi di Muntilan. Jarak Muntilan - Kalibawang tidak dekat. Pulang pergi berjalan kaki 4 jam. Bukan pekerjaan mudah. Hanya semangat yang menggairahkan mereka untuk pergi beribadat dengan kondisi seperti itu.
Bapak Barnabas Sarikrama tahu akan kebutuhan orang-orang dalam asuhannya. Sambil mengajar ia kadang-kadang membagi-bagi pil kinine atau saleb yang diperolehnya dari Pastoran Muntilan atau Mendut Karya Kerasulan Awam. Hal itu dikerjakan sendiri selama 9 tahun tanpa Pastor. Baru pada tahun 1914 Romo Gembala yang pertama ialah Romo L. Groenewegen SJ almarhum datang meringankan beban Pak Barnabas. Namun, karena kesehatannya terganggu beliau pulang ke negeri Belanda pada tahun 1920 diganti oleh Romo J. Barendsen SJ. Pada tahun 1924 Gembala yang kedua ini pindah tempat diganti gembala ketiga yang agak lama di sini, yakni Romo JB. Prennthaler SJ dari Austria. Pada tahun 1935 beliau cuti ke luar negeri dan setelah kembali pada tahun 1936 ia bekerja di Rawaseneng, Temanggung di mana sekolah pertanian katolik Helderweird didirikan. Pada bulan Mei 1940 beliau ditawan Polisi Belanda, sebab padawaktu itu Belanda berperang dengan Jerman. Dari situ beliau diangkut ke Madiun. Beberapa bulan kemudian ia diizinkan kembali ke Rawaseneng. Setelah pulau Jawa diduduki Jepang Rawaseneng ditinggalkannya lalu kembali ke Boro pada tahun 1942.
Sebelumnya pada tahun 1935-1942 yang melanjutkan misi di Kalibawang adalah Romo C. Tepemma SJ dibantu oleh Romo R. Jasawihardja SJ.
Akhirnya Romo JB. Prennthaler SJ pada awal pemerintahan jepang tahun 1942 dikembalikan lagi ke Boro.
Pekerjaan 13apak Barnabas tidak pernah terhenti. Ia tetap menjadi pembantu Romo. Maka, pada tanggal 8 Desember 1929 diadakan perayaan 25 tahun atau pesta perak Bapak Guru Agama tanpa bayar ini bersamaan dengan perayaan 25 tahun misi di Kalibawang. Dalam pidatonya Romo JB. Prennthaler SJ menguraikan riwayat misi di Kalibawang yang telah maju. Pertama kali, beliau mengucapkan terima kasih kepadaTuhan Yang Mahesa. Kedua kalinya, ucapan terima kasih ditujukan kepada para penderma mini Kalibawang di luar dan di dalam negeri, juga kepada Romo Van Lith Sj sebagai peletak dasar karya misi Kalibawang. Dan, tak ketinggalan kepada saudari-saudara lain yang telah ikut menyukseskan misi tersebut. Ketiga kalinya ucapan yang panjang lebar dan mengharukan ditujukan khusus untuk Bapak Barnabas Sarikrama. Seperempat abad lamanya rasul awam ini membantu misi tanpa diminta, tanpa dibayar. Maka Sri Paus berkenan menghadiahkan kepadanya sebuah bintang yang berwujud "SALIB KEHORMATAN EMAS" dengan tulisan "Pro Eccclesia et Pontificae" beserta piagamnya. Dialah bangsa Indonesia yang pertama kali mendapat kehormatan itu. Semua penduduk Kalibawang dan para tamu yang hadir ternganga, heran. Bapak Barnabas Sarikrama sendiri tidak kuasa menahan harunya. Ia pun malah memuji Sri Paus yang dari Roma nun jauh di sana berkenan menunjukkan cinta kasihnya kepada umatnya yang sederhana di tempat yang sangat pelosok.

Wajah para hadirin berseri-seri tatkala Romo V. Kalken SJ menyematkan "Salib Kehormatan" di dada Bapak Barnabas yang pada waktu itu memakai baju hitam. Beberapa orang menitikkan air mata tak kuasa menahan rasa haru dan gembira. Satu per satu memberi sambutan. Dan, Bapak Barnabas Sarikrama merasa malu mendengar pidato pujian Romo JB. Prennthaler Sj, namun hatinya berdebar-­debar campur aduk dengan rasa gembira dan bangga diperkenankan memakai "SALIB KEHORMATAN" di dadanya. (sumber: Buku Sendang SONO, 1967)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar